Mojokerto, Merdeka News - Polemik penerbitan dan perdagangan Buku PENJASORKES Kelas 6 SD terbitan CV. Dewi Pustaka yang beredar luas di masyarakat Mojokerto semakin hari semakin memanas. Seperti diketahui bersama bahwa CV Dewi Pustaka adalah perusahaan milik salah satu anggota DPRD Kabupaten Mojokerto berinisial AY yang duduk di Komisi IV yang salah satu tugas dan wewenangnya membawahi bidang pendidikan.
Seperti diberitakan sebelumnya bahwa AY anggota DPRD Kabupaten Mojokerto telah dilaporkan salah satu wali murid SDN Pohkecik Dlanggu bernama Hadi Purwanto, ST. kepada Polres Kab. Mojokerto pada Senin (22/2/2021) terkait dugaan tindak pidana penerbitan dan perdagangan Buku PENJASORKES Kelas 6 SD.
Selanjutnya pada Rabu (23/6/2021), AY anggota DPRD Kabupaten Mojokerto juga dilaporkan Hadi Purwanto, ST. kepada Ketua DPRD Kabupaten Mojokerto terkait dugaan “Dugaan Pelanggaran Kode Etik” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 401 UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan Pasal 189 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Dalam perkara ini saya hanya membela diri. Saya tidak terima anak saya dijadikan objek perdagangan buku-buku pelajaran yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Disamping itu saya ingin memberi pelajaran kepada AY selaku wakil rakyat seharusnya tidak sewenang-wenang dengan melakukan penindasan kepada rakyat Mojokerto. Orang ini terkenal congkak dan sombong. Sudah waktunya saya harus memberi pelajaran kepada wakil rakyat yang katanya terhormat ini,” ujar Hadi saat ditemui di kediamannya pada Sabtu (26/6/2021).
Hadi juga menjabarkan bahwa yang memulai perkara ini adalah AY dengan melaporkan dirinya di Satreskrim Polres Mojokerto pada Desember 2020 dan Januari 2021.
“AY melaporkan saya karena tidak terima saat saya mengirim surat klarifikasi yang pada intinya mempertanyakan legalitas buku-bukunya. Itu duduk persoalannya. Saya heran wakil rakyat saat dikritik kok malah melaporkan saya ke Kepolisian. Ya akhirnya saya membela diri melaporkan balik dia. Kayak dia saja yang bisa melaporkan orang. Ada 10 buku yang sudah saya laporkan di Polres Mojokerto. Masih ada 45 buku yang sampai hari ini belum saya laporkan,” papar Hadi.
Diterangkan juga bahwa laporan Buku PENJASORKES ini sudah memasuki usia 124 hari saat berita ini ditulis akan tetapi Polres Mojokerto belum juga menemukan titik terang terhadap perkara ini.
“Alat bukti sebenarnya sudah cukup sebagai dasar pihak kepolisian untuk melakukan penangkapan terhadap para pelaku penerbitan dan perdagangan Buku PENJASORKES Kelas 6 SD ini. Minimal ada penyegelan kantor penerbit harusnya sudah dilakukan oleh polisi demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kinerja kepolisian,“ harap Hadi.
Hadi menjabarkan, alat bukti utama antara lain adalah legalitas CV Dewi Pustaka sebagai penerbit buku sangat diragukan. Karena dalam akta pendirian CV Dewi Pustaka disebutkan maksud dan tujuan pendirian CV Dewi Pustaka tidak ada satupun kalimat yang menerangkan tentang kegiatan usaha menerbitkan buku.
Disamping itu dalam SIUP CV Dewi Pustaka tidak menerangkan tentang kegiatan usaha (KBLI) untuk menerbitkan buku tetapi hanya menerangkan kegiatan usaha perdagangan eceran khusus alat tulis dan hasil percetakan dan penerbitan di toko (4761).
Sementara dalam TDP CV Dewi Pustaka menerangkan bahwa kegiatan usaha pokok adalah perdagangan alat tulis kantor (ATK). Tetapi dalam faktanya, CV Dewi Pustaka dalam Buku PENJASORKES Kelas 6 SD bertindak atau mengaku sebagai penerbit buku.
“CV Dewi Pustaka saat menerbitkan Buku PENJASORKES Kelas 6 SD pada Semester Ganjil Tahun Ajaran 2020/2021 diduga tidak memiliki izin usaha penerbitan. Tetapi berdasarkan fakta yang ada, CV Dewi Pustaka dalam menjalankan usahanya bertindak sebagai penerbit,” jelas Hadi.
Jelas disini bahwa CV Dewi Pustaka terkait legalitas perusahaan telah menabrak aturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Butir (a) UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan yang menerangkan bahwa “Penerbit berkewajiban memiliki izin usaha penerbitan”. Jadi dengan kata lain sebuah perusahaan dikatakan sebagai penerbit setelah melaksanakan kewajibannya untuk memiliki izin usaha penerbitan.
“Sangat hebat anggota dprd satu ini (AY), UU perbukuan yang disahkan oleh Presiden Jokowi itu pun tidak dihiraukan. UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan itu disahkan oleh Presiden Republik Indonesia JOKO WIDODO pada 24 Mei 2017,” tandas Hadi.
Hal ini juga tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1) Butir (a) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menerangkan bahwa “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan”.
“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Jadi sudah jelas bahwa Buku PENJASORKES Kelas 6 SD terbitan CV Dewi Pustaka dilarang diproduksi dan diperdagangkan sebelum pelaku usaha mempunyai legalitas atau izin usaha penerbitan. Dua UU sudah jelas mengatur hal ini,” terang Hadi.
Dalam Pasal 8 Ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga menerangkan bahwa “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud”.
“Secara fakta jelas menerangkan bahwa CV Dewi Pustaka telah menerbitkan dan memperdagangkan Buku PENJASORKES Kelas 6 SD tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar kepada konsumen bahwa perusahaan mereka belum memiliki izin usaha penerbitan. Padahal dalam hal tersebut, CV Dewi Pustaka secara kasat mata seolah-olah sudah memilik izin usaha penerbitan sehingga sehar-harinya CV Dewi Pustaka menjalankan usahanya bertindak selaku usaha penerbitan buku,” Jelas Hadi Purwanto.
Fakta berikutnya adalah pencantuman ISBN 978-602-9622-656 pada Kulit Belakang Buku PENJASORKES Kelas 6 SD terbitan CV Dewi Pustaka. Secara kasat mata seolah-olah ISBN 978-602-9622-656 benar-benar angka yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang satu-satunya mempunyai wewenang menerbitkan ISBN. Akan tetapi faktanya ISBN 978-602-9622-656 yang tercantum pada Kulit Belakang Buku PENJASORKES Kelas 6 SD terbitan CV Dewi Pustaka tersebut tidak pernah dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
“Berdasarkan hasil tracking ISBN 978-602-9622-656 yang saya lakukan pada laman isbn.perpusnas.go.id menerangkan bahwa Tidak Ada Data yang Ditemukan. Jadi dapat disimpulkan bahwa Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tidak pernah menerbitkan ISBN 978-602-9622-656, akan tetapi berdasarkan fakta yang ada CV Dewi Pustaka mencantumkan ISBN 978-602-9622-656 pada Buku PENJASORKES Kelas 6 SD. Ini sudah jelas bahwa CV Dewi Pustaka tidak beritikad baik dalam menjalankan usahanya,” jawab Hadi dengan detail menjabarkan.
Hasil tracking ISBN 978-602-9622-656 tersebut dikuatkan juga dengan adanya Surat Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 867/3/DBp.05/VI.2021 Tanggal 10 Juni 2021 perihal Klarifikasi ISBN 978-602-9622-656 kepada Hadi Purwanto, ST. yang menerangkan bahwa penomoran yang tidak valid dan bukan milik CV tersebut, hal tersebut di dasarkan pada hasil pengecekan pada database ISBN Buku Teks Pendamping Materi “PENJASORKES” untuk kelas 6 SD dengan ISBN 978-602-9622-65-6 yang diterbitkan oleh CV. Dewi Pustaka tidak terdaftar pada sistem database ISBN. Dengan demikian ISBN tersebut bukan dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional RI, persyaratan administrasi dari buku Teks Pendamping Materi “PENJASORKES” untuk kelas 6 SD dengan ISBN 978-6029622-65-6 yang diterbitkan oleh CV. Dewi Pustaka tidak ada pada database ISBN serta Persyaratan teknis dari buku Teks Pendamping Materi “PENJASORKES” untuk kelas 6 SD dengan ISBN 978-602-9622-65-6 yang diterbitkan oleh CV.Dewi Pustaka juga tidak ada pada database ISBN.
“Terus siapakah yang merakit angka ISBN 978-602-9622-656 pada buku tersebut. Yang jelas ada yang menyuruh dan ada yang mengerjakan. ISBN adalah akta otemtik, barang siapa yang memalsukannya adalah tindakan pidana. Ini yang harus dipecahkan oleh para penyidik,” harap Hadi.
Bukti berikutnya adalah tidak diketemukannya pelaku perbukuan pada Buku PENJASORKESKelas 6 SD. Ini jelas tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 3
Tahun 2017 tentang Sisitem Perbukuan, Permendikbud No. 8 Tahun 2016 tentang Buku yang Layak Digunakan oleh Satuan Pendidikannya beserta lampirannya, PP No. 75 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan tentang UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sisitem Perbukuan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
“Sudah 124 hari perkara ini di Polres Kab. Mojokerto. Demi menjaga martabat bangsa dan kehormatan dunia pendidikan nasional, saya berharap polisi melakukan tindakan tegas untuk segera menangkap para pelaku penerbitan dan perdagangan Buku PENJASORKES Kelas 6 SD buku ini. Alat bukti sudah berlimpah,” Harap Hadi.
Menurut Hadi sebenarnya banyak pasal untuk menjerat mereka dengan hukuman pidana. Dalam Pasal 62 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah menerangkan jelas bahwa “(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.
Dalam perkara dugaan pemalsuan akta otentik (ISBN) sudah terang diatur dalam Pasal 264 Ayat (1) (2) KUHP yang menerangkan bahwa “ (1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap: 1. akta-akta otentik; 2. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum; 3. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai: 4. talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu; 5. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan. (2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian”.
Dalam Pasal 266 Ayat (1) (2) KUHP juga menerangkan bahwa “(1) Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; (2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.”
Diatur juga dalam Pasal 378 KUHP yang menyatakan bahwa “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”
Dalam PASAL 380 KUHP juga menerangkan bahwa “Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak lima ribu rupiah barang siapa menaruh suatu nama atau tanda secara palsu di atas atau di dalam suatu hasil kesusastraan, keilmuan, kesenian atau kerajinan, atau memalsu nama atau tanda yang asli, dengan maksud supaya orang mengira bahwa itu benar-benar buah hasil orang yang nama atau tandanya ditaruh olehnya di atas atau di dalamnya tadi dan barang siapa dengan sengaja menjual menawarkan menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual atau memasukkan ke Indonesia, hasil kesusastraan, keilmuan, kesenian atau kerajinan. yang di dalam atau di atasnya telah ditaruh nama atau tanda yang palsu, atau yang nama atau tandanya yang asli telah dipalsu, seakan-akan itu benar- benar hasil orang yang nama atau tandanya telah ditaruh secara palsu tadi.”
Disebutkan juga dalam Pasal 112 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa “Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan/atau Pasal 52 untuk Penggunaan Secara Komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah.)”
Dugaan dalam Pasal 113 Ayat (3) (4) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa “(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)”
Belum juga adanya dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 39A UU No. 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UU No. 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.
“Alat bukti sudah berlimpah, jeratan pasal sudah jelas. Saya menaruh harapan besar mewakili masyarakat pada umumnya agar Kapolres Kab. Mojokerto segera melakukan penangkapan para pelaku penerbitan dan perdagangan Buku PENJASORKES Kelas 6 SD. Tidak orang ataupun pejabat yang kebal hukum di negara ini. Saya adalah korban dalam perkara ini. Tugas polisi adalah melindungi dan mengayomi masyarakat,” ujar Hadi mengakhiri dialognya kepada para jurnalis. (yn/hd)
0 Comments